
Jakarta, Nusantaratop – Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Partai Keadilan dan Persatuan (Sekjen DPN PKP) Said Salahudin meminta DPR, Pemerintah, KPU, dan Bawaslu perlu berhati-hati dalam menentukan jadwal Pemilu 2024
Said mengatakan, jadwal Pemilu ditetapkan oleh UUD 1945 sehingga mengubah waktunya menyebabkan pelaksanaan Pemilu berpotensi inkonstitutional.
“Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 telah tegas menyatakan Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali,” kata Said di Jakarta, Senin
Sekjen DPN PKP menjelaskan, ‘frasa lima tahun’ itu mudah sekali menghitungnya yaitu 12 bulan dikali 5, sehingga kalau pada tahun 2019 Pemilu dilaksanakan di bulan April maka 60 bulan berikutnya jatuh di bulan April 2024
Said mengatakan, semestinya semua pinak patuh dan konsisten pada perintah konstitusi karena negara hans libangun dengan sistem yang “ajeg” agar agenda kenegaraan bisa dilaksanakan sebagaiana metinya
“Kalau ada alasan yang bersifat ‘force majeure’, seperti bencana alam atau bencana non-alam yan terjadi di seluruh Indonesia atau ada unsur kedaruratan serta alasan khusus lainnya, itu bisa saja dijadikan sebagai pertimbangan untuk memajukan atau memundurkan jadwal Pemilu sehingga tidak harus dilaksanakan di bulan April,” ujarnya, seperti dilansir dari Antara.
Menurut Said, kalau alasannya hanya karena ada Pilkada Serentak 2024, itu tidak masuk akal karena jadwal Pilkada Serentak Nasional di bulan November 2024 hanya diatur di level undang-undang.
Dia menjelaskan berbeda halnya dengan Pemilu yang jadwalnya ditetapkan langsung oleh UUD 1945 dan sudah menjadi konvensi yaitu selalu dilaksanakan di bulan April sejak empat kali Pemilu terakhir.
“Jika Pemilu dilaksanakan di bulan Februari atau Mei 2024 seperti wacana yang muncul selama ini, itu artinya Pemilik tidak genap dilaksanakan setiap lima tahun sekali,” katanya
Dia khawatir bisa muncul permasalahan hukum yang serius jika jadwal Pemilu yang diatur dalam UUD 1945 dikalahkan oleh jadwal Pilkada yang hanya diatur di level undang-undang.
Menurutnya, kalau terpaksa harus ada yang dikalahkan, semestinya jadwal Pilkada yang dimundurkan, bukan jadwal Pemilu
Dia menjelaskan, kalau pelaksanaan Pilkada pada bulan November dianggap terlalu dekat dengan pelaksanaan Pemilu di bulan April, bisa saja jadwal Pilkada dimundurkan oleh DPR dan Pemerintah melalui revisi undang-undang.
“Atau cukup dengan penerbitan Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) oleh Presiden dalam hal ada unsur kepentingan yang memaksa disana,” ujarnya.
Artinya, kata Said, perubahan jadwal Pilkada lebih mudah dilakukan daripada mengubah jadwal Pemilu, karena kalau Pemilu tidak dilaksanakan 5 tahun sekali, maka MPR harus bersidang untuk melakukan amandemen Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.(red)