Portal Berita Hari Ini

Bupati Porbolinggo Kena Jaring OTT  KPK Atas Dugaan Kasus Jual Beli Jabatan

Porbolinggo, Nusantaratop – Bupati Probolinggo, Jawa Timur, Puput Tantriana Sari terjerat operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. Ia ditangkap bersama suaminya yang merupakan anggota DPR, Hasan Aminuddin, berserta sejumlah orang. OTT KPK tersebut diduga terkait jual beli jabatan.

Kabar penangkapan Bupati Probolinggo Puput Tantriana bersama suaminya tersebut dibenarkan Juru Bicara KPK Ali Fikri, Senin (30/8/2021). ”Benar, informasi yang kami terima, tim KPK melakukan tangkap tangan terhadap beberapa pihak yang diduga sebagai pelaku tindak pidana korupsi di wilayah Jawa Timur,” kata Ali Fikri. Hal itu terkait dengan jual beli jabatan.

Namun, Ali Fikri tidak menjawab lebih lanjut soal detail penangkapan itu. ”Mengenai kasus selengkapnya, siapa saja yang ditangkap dan barang bukti apa yang diamankan, saat ini belum bisa kami sampaikan. Tim masih bekerja dan perkembangannya nanti kami pastikan akan kami sampaikan lebih lanjut,” kata Ali Fikri.

Di Jawa Timur, KPK telah menangkap tangan sejumlah kepala daerah, seperti di Malang Raya, Kabupaten Nganjuk, Jombang, dan Sidoarjo.

Kepala Dinas Komunikasi, Informatika, Statistika, dan Persandian Kabupaten Probolinggo Yulius Cristian mengaku belum mengetahui kabar tersebut. ”Saya belum tahu kabar itu,” kata Yulius singkat.

Puput Tantriana menjabat bupati Probolinggo sejak tahun 2013. Saat ini, dia menjabat periode kedua, yakni 2018-2023. Puput Tantriana menjadi bupati menggantikan suaminya, Hasan Aminuddin, yang saat ini menjadi anggota DPR RI dari Partai Nasdem (periode 2014-2019 dan periode 2019-2024).

Sebelumnya, Hasan merupakan Bupati Probolinggo dua periode, yaitu tahun 2003-2008 dan 2008-2013. Sebelum menjabat bupati, Hasan adalah Ketua DPRD Kabupaten Probolinggo periode 1999-2003.

Kabupaten Probolinggo merupakan sebuah wilayah di pantura bagian timur Provinsi Jawa Timur dengan penduduk berjumlah 1,1 juta jiwa. Penduduknya tersebar di 24 kecamatan yang berada di daerah berkontur pesisir pantai maupun pegunungan (Gunung Bromo). Rata-rata warganya berasal dari etnis Madura, Jawa, dan lainnya.

Data statistik menyebutkan, Kabupaten Probolinggo masuk dalam beberapa daerah dengan tingkat kemiskinan cukup tinggi. Data Statistik Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Probolinggo tahun 2020 terbitan BPS Probolinggo menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin Kabupaten Probolinggo sebanyak 218.350 jiwa atau sekitar 18,61 persen.

Bila dibandingkan kabupaten/kota di Jawa Timur, Kabupaten Probolinggo masuk dalam deretan dengan tingkat kemiskinan tinggi di Jawa Timur bersama sejumlah wilayah di Pulau Madura. Tahun 2019, tingkat kemiskinan di Jawa Timur sebesar 10,37 persen. Saat itu tingkat kemiskinan di Kabupaten Probolinggo sebanyak 17,76 persen atau di atas rata-rata tingkat kemiskinan Jawa Timur.

Tingkat kemiskinan di atas rata-rata Jawa Timur tersebut juga dialami beberapa derah lain, seperti Sampang (20,71 persen), Sumenep (19,48 persen), Pamekasan (13,95 persen), Pacitan (13,67 persen), Bondowoso (13,33) persen), dan Nganjuk (11,24 persen).

Dosen Ilmu Politik Universitas Brawijaya Wawan Sobari mengatakan, modus dugaan korupsi diperkirakan tidak jauh berbeda dengan di Klaten di Jawa Tengah dan Nganjuk, Jawa Timur. Hal itu terjadi karea adalah lingkaran pembiayaan pilkada dan pembiayaan politik.

”Itu bisa dilakukan karena si pemimpin daerah tersebut saat maju pilkada telah ’mengijonkan’ proyek kepada pihak tertentu agar mendapatkan dukungan. Serta, dia juga butuh membiayai partai dan lainnya untuk menjaga stabilitas kepemimpinannya (menjaga rivalitas),” kata Wawan.

Wawan menyebut bahwa tindakan itu merupakan praktik politik predator. Ciri politik predator itu tiga, yaitu power abuse atau penyalahgunaan wewenang, inefisiensi kebijakan, dan korupsi. Hal itu dilakukan untuk membiayai pencitraan dan mengelola rivalitas. ”Dalam mengelola rivalitas, dukungan harus dijaga dan menekan rivalitas. Makanya, butuh rente untuk membiayainya, seperti untuk tim sukses, pemilih, tokoh masyarakat, dan lainnya,” kata Wawan.

Upaya mencari rente atau duit dari dana non-budjeter dengan cara-cara tidak benar itu, menurut Wawan, terjadi karena sistem keuangan pemerintahan sekarang semakin terbangun dan terawasi dengan baik, mulai dari perencanaan hingga pertanggungjawaban.

”Itu membuat celah untuk mencari dana non-bujeter bagi pemimpin daerah menjadi tidak mudah. Maka, solusinya adalah melakukan political abuse (menyalahgunakan wewenang) dengan menerima duit yang tidak seharusnya, seperti kasus di Nganjuk,” kata pengamat politik tersebut.

Tindakan tersebut, menurut Wawan, sangat disayangkan. Apalagi, saat situasi pandemi di mana sangat membelit masyarakat. ”Ini bukan praktik baru, cuman yang mengerikan hal ini terjadi di situasi pandemi. Meskipun korupsinya tidak terkait pandemi, betapa memang situasi pandemi ini tidak mendorong perbaikan moralitas,” kata Wawan.

Selama masyarakat masih menilai ukuran keberhasilan kepala daerah dengan tangibility atau materi, menurut Wawan, hal ini akan terus terjadi.(kompascom)

Beri balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.